Assalamualaikum..
Bertepatan pada hari ini 14 Mei 2014,Berhubungan hari ini hari lahir Ane juga,dan bertepatan ane lagi ON jadi ane sempatin dah mosting artikel.Artikel ane berjudul Peristiwa dibalik tanggal 14 Mei.
Langsung aja simak informasi nye...
Mulanya, 4 Perwira Polisi Hilang Misterius
Bulan Mei 1998, sejarah dunia mencatat gejolak di Indonesia. Gejolak yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Aksi kerusuhan massa, penjarahan, dan pemerkosaan juga berlangsung dengan brutal. Reformasi terus bergulir, namun pemicu kerusuhan yang sebenarnya masih bersembunyi di balik debu. Laporan investigasi Susan Berfield dan Dewi Loveard dari Asiaweek mengungkap, kerusuhan itu memang ada yang mendalangi. Keduanya menyimpulkan, kerusuhan itu adalah hasil sebuah aksi yang terencana rapi. Berikut intisarinya.
‘’SEPULUH hari yang mengoyak Indonesia.’’ Begitu majalah berita terkemuka di Asia itu menyebut huru-hara yang menimpa Indonesia selama Mei lalu. Kisah ini dimulai bergeraknya jarum jam pada 12 Mei. Jarum jam itu berhenti ketika 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, ditembak mati oleh oknum aparat keamanan.
Dalam tempo 24 jam, insiden penembakan itu membakar amarah massa. Di tengah situasi itu pula, sebuah program anti-Cina dilancarkan. Api pun melahap Jakarta. Warga keturunan Cina berlarian meninggalkan ibu kota. Jakarta tidak ubahnya sebuah ‘’zona perang.’’ Ujung-ujungnya, Presiden Soeharto pun dipaksa mundur. Tetapi, arah nasib bangsa ini pun belum jelas.
Sampai detik terjadinya kerusuhan –batu merajam bangunan mewah dan api melahap mobil-mobil–, rakyat semula banyak mengira itu sebuah spontanitas massa. Massa yang marah terhadap penguasa yang terlalu lama memerintah. Tetapi, apakah bangsa ini sudah sedemikian brutal?
Sejarah Indonesia memang beberapa kali mencatat noda hitam aksi kekerasan. Namun, siapa penggeraknya, hampir tidak pernah diidentifikasi secara jelas. Itulah sosok-sosok ‘’pemimpin bayangan’’. Siapa mereka, tidak seorang pun berani membuka mulut. Sebab, mereka adalah orang-orang superkuat, yang hukum pun seolah anti menjamahnya.
Kali ini, insiden Trisakti itu memberikan gambaran riil. Dua orang oknum polisi diajukan ke pengadilan militer sebagai pesakitan. Tetapi, benarkah mereka pelakunya? Jujur saja, sebagian rakyat Indonesia percaya bahwa para terdakwa itu hanya ‘’kambing hitam’’. Pengadilan militer itu hanya bagian sebuah upaya melindungi kepentingan militer yang lebih besar.
Hasil investigasi sebulan penuh Asiaweek –termasuk wawancara dengan beberapa perwira militer, pengacara, aktivis hak asasi manusia (HAM), para korban, dan saksi mata– menyimpulkan, penembakan Trisakti, kerusuhan, penjarahan, dan aksi pemerkosaan terhadap para wanita Cina itu benar-benar sudah direncanakan.
Di antara bukti yang didapat selama investigasi itu adalah hilangnya empat perwira polisi lengkap dengan seragamnya beberapa hari sebelum penembakan itu terjadi. Lagi pula, peluru yang diambil dari tubuh korban Trisakti itu bukanlah peluru resmi milik kepolisian.
Belum cukup di situ. Bukti lain menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang kini dalam persembunyian, mengakui bahwa mereka sengaja direkrut untuk memancing kerusuhan. Bahkan, sumber-sumber militer mengatakan bahwa untuk kali pertama mereka berhasil menyadap arus komunikasi beberapa markas AD di Jakarta dengan kelompok-kelompok provokator pada 14 Mei lalu.
Pertanyaannya, bila kerusuhan itu sengaja digerakkan, tentu pasti ada dalangnya. Identitas si dalang ini memang tidak pernah gamblang. Namun, salah seorang yang disebut-sebut terkait dengan serangkaian aksi kerusuhan itu adalah menantu Soeharto, Letjen TNI Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan, beberapa kalangan menilai, keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat jelas.
Namun, Fadli Zon –aktivis muslim yang dekat dengan Prabowo– menilai, sang letjen itu hanyalah korban ‘’pembunuhan karakter’’. Beberapa hari setelah kerusuhan itu, Prabowo menyangkal terlibat dalam kerusuhan itu. Lewat perantaranya, Juni lalu dia menyatakan siap diwawancarai Asiaweek. Tetapi, sampai kini janji wawancara itu tidak pernah terwujud.
Mengapa harus Prabowo? Banyak alasan yang mendukung tudingan itu. Prabowo sudah luas dikenal sebagai sosok ambisius. Dia memiliki berbagai sarana untuk menyulut kerusuhan itu. Dengan posisinya, dia juga mampu memerintahkan beberapa pemuda yang tak berdaya melawan perintah, termasuk beberapa oknum dari organisasi paramiliter yang dikenal jago menyulut kerusuhan.
Para preman, gangster, oknum paramiliter, dan beberapa perkumpulan pemuda melaksanakan saja apa yang dia perintahkan. Beberapa di antaranya, seperti Pemuda Pancasila, memang sudah mapan. Sumber-sumber militer mencurigai bahwa keterlibatan organisasi lain dalam kerusuhan di Jakarta itu tidak lebih dari sebuah jaringan lokal yang dikepalai para preman yang direkrut dari berbagai provinsi untuk mengacau ibu kota.
‘’Prabowo terobsesi keyakinannya bahwa satu-satunya cara bisa memerintah Indonesia adalah dengan tipu muslihat militer. Dengan cara itu, dia yakin bisa meraih kekuasaan seperti mertuanya meraih kekuasaan dari Soekarno,’’ ujar salah seorang perwira militer senior.
Dia menjelaskan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu dengan harapan rivalnya, (saat itu) KSAD Jenderal TNI Wiranto, tidak mampu memulihkan keadaan. Harapan Prabowo adalah Soeharto, yang ketika kerusuhan terjadi berada di Mesir, memberlakukan undang-undang darurat. Sebagai panglima Kostrad, satuan inti siap tempur, Prabowo sangat yakin dialah yang bisa mengendalikan situasi. Inilah teorinya.
Teori lain mengatakan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu untuk menarik simpati Soeharto bahwa Prabowo mampu mengendalikan situasi yang tidak menentu. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?
Prabowo kehilangan pelindung sekaligus komandonya. Negaranya menanggung kerugian yang jauh lebih besar. Setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak.
Bagaimana sebenarnya peristiwa pilu ini terjadi? Mari kita telusuri sepuluh hari yang mencekam dan mengguncang ibu kota itu.
12 MEI: Sekitar pukul 10.30 WIB, mahasiswa mulai berkumpul di pelataran parkir di luar kampus Universitas Trisakti yang megah dengan bentuk M berlantai dua belas itu. Ini merupakan demo terbesar pertama yang dilaksanakan Trisakti. Mahasiswa yang ikut pun berasal dari bermacam golongan dan strata sosial. Ada anak-anak birokrat, pengusaha, diplomat, dan bahkan anak orang militer.
Areal parkir, biasanya dipenuhi Kijang, Toyota, dan Peugeot, siang yang panas itu benar-benar dijejali mahasiswa yang protes. Beberapa saat sebelum jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, bendera Merah Putih dikerek setengah tiang. Sementara itu, mahasiswa dan dosen menyanyikan lagu kebangsaan. Lalu, mereka mengheningkan cipta sesaat sebelum akhirnya berteriak meminta Soeharto mundur.
Pada pukul 12.30 WIB, sekitar 6.000 mahasiwa bergerak menuju jalan raya di sekitar kampus. Mereka bertekad melakukan long march menuju gedung DPR/MPR. Tiga wakil Trisakti –Dekan Fakultas Hukum Adi Andoyo Sutjipto, Kepala Satpam Kampus Arri Gunarsa, dan Ketua Senat Mahasiwa Julianto Hendro–melakukan negosiasi dengan aparat keamanan. Saat itu jarum jam sudah mendekati pukul 13.00 WIB.
Perwakilan Trisakti itu meminta aparat mengizinkan mereka berjalan ke gedung wakil rakyat sejauh 5 km. Tetapi, permintaan itu tidak dikabulkan. Mahasiwa kecewa dan duduk-duduk sambil terus beraksi di jalanan. Julianto mengungkapkan penyesalannya karena keinginan bertemu wakil rakyat itu tidak terkabul.
Aksi mahasiswa masih bertahan. Orasi, lagu kebangsaan, dan pekik protes terus berlangsung meski hujan mengguyur. Beberapa demonstran malah dengan akrab meletakkan bunga di pelatuk senapan para polisi yang berdinas. Sampai akhirnya terdengarlah kabar dari Golkar, kelompok yang merajai di DPR, bahwa tidak seorang pun sanggup menerima mereka. Berdiri tegak di tengah polisi dan rekan-rekannya, Julianto menyeru kepada mahasiswa yang kecewa. Meski kecewa, janganlah menyulut aksi kekerasan.
SITUASI Trisakti pada 12 Mei sore memang tampak tenang. Setelah gagal menuju gedung DPR/MPR, mahasiswa yang kecewa siap tidak menyulut aksi keributan. Pukul 15.00 WIB, Adi Andoyo kembali ke kantornya. Setengah jam kemudian, asistennya menelepon bahwa polisi mengancam akan memakai kekuatan bila 200 lebih mahasiswa itu masih di jalanan menggelar aksi dan tidak mau kembali ke kampus.
Pukul 16.15, kesepakatan pun tercapai. Mahasiswa dan polisi perlahan-lahan meninggalkan garis batas lima meter. Sebagian besar mahasiswa kembali ke kampus. Yang lain masih rileks di jalanan atau berkerumun di sekitar penjaja makanan yang ada di tepi jalan. Ketua Senat Mahasiswa Julianto Hendro tampak menenggak air kemasan.
Beberapa personel polisi juga memanfaatkan waktu dengan melepas ketegangan itu. Semuanya tampak tenang. Dan, Adi Andoyo pun bertolak pulang. Seperempat jam kemudian, 16.30 WIB, seorang lelaki yang berdiri di tengah kerumunan mahasiswa berteriak agar para mahasiswa menghentikan protes.
Mahasiswa meneriaki lelaki itu sebagai agen intelijen dan mulai menggebukinya ketika dia berusaha lari sejauh 50 meter menuju garis polisi. Baru kemudian diketahui bahwa lelaki itu bernama Masud, mahasiwa Trisakti yang drop-out. Polisi maupun militer tidak mengklaim Masud adalah orangnya.
Karena Masud, suasana menjadi tegang kembali. Namun, Kepala Satpam Trisakti Arri Gunarsa dan Julianto mengingatkan rekan-rekannya agar tetap tenang dan kembali ke kampus. Pada pukul 16.45 WIB, seorang letkol polisi menghentikan perundingan. Mahasiswa diberi deadline 15 menit agar meninggalkan jalan raya. Sekitar 100 mahasiswa menolak seruan itu dan tetap berdiri di depan barikade polisi.
Menurut Julianto, tiga atau empat polisi berusaha menghalau mereka agar mundur. Memang, mahasiswa berusaha terus merangsek, meski tidak sampai melewati garis batas mereka sendiri. Polisi mengklaim mahasiswa kemudian menyulut kericuhan. Tetapi, para saksi mata mengatakan bahwa suasana sebenarnya mulai tenang.
Sekitar pukul 17.20 WIB, seseorang meletupkan senjata ke udara. Polisi pun membalas dengan melepaskan tembakan gas air mata, memukulkan tongkatnya, dan menembakkan senjata. Mahasiwa berlarian berlindung di gedung-gedung sekitarnya dan di bawah payung penjaja minuman di pinggir jalan. Tetapi, polisi terus memburu mahasiswa hingga ke pintu gerbang kampus. Cukup sampai di pintu gerbang itu saja. Tetapi, peluru-peluru terus melesat. Sebutir peluru karet menghantam punggung Julianto yang saat itu sudah di depan kantor senat.
Menghadapi keadaan itu, dari dalam kampus, mahasiwa membalas dengan melemparkan botol dan batu ke arah polisi. Saat itu, mahasiwa yakin benar bahwa peluru yang diberondongkan kepada mereka adalah peluru karet. Mereka yakin bahwa polisi dan tentara pasti mengikuti prosedur dalam menangani aksi-aksi demonstrasi.
Itu terlihat jelas dalam satuan-satuan yang diturunkan untuk mengamankan aksi di Trisakti ini. Seperti pemakaian empat lapis kekuatan: polisi di depan dengan tameng, pelindung tubuh, dan pentungan; lapis kedua adalah polisi yang bersenjatakan gas air mata dan senapan stun (yang bisa membuat korban cuma pingsan); lapis ketiga adalah tentara dengan gas air mata dan senapan berpeluru karet; serta lapis keempat terdiri atas satuan khusus polisi dan tentara bersepeda motor yang bersenjatakan senapan air.
Pada hari itu, dua komandan polisi kemudian bersaksi bahwa personel sama sekali tidak memakai amunisi hidup, tetapi mereka membawa senapan laras Steyr AUG dan SS-1 yang diisi dengan peluru kosong dan 12 peluru karet, plus SS-1 yang masing-masing diisi lima gas kanister. Namun, ‘’seseorang’’ benar-benar memakai peluru nyata.
Beberapa saksi mata mengatakan, polisi berkendaraan sepeda motor melesat di atas jembatan layang yang membentang paralel antara kampus Trisakti dan jalan tol. Mereka mengenakan seragam polisi Brigade Mobil (Brimob). Kemudian, kedua perwira militer mengatakan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bahwa sepekan sebelum demonstrasi itu, empat anggota unit Brimob raib bersama seragamnya.
Siapa pun para lelaki di jembatan layang itu, mereka benar-benar jitu membidikkan peluru nyatanya. Pukul 17.30 hingga pukul 18.00 WIB, empat mahasiswa gugur tertembus peluru di kepala, leher, dada, dan punggung.
Sementara itu, sebagian besar korban luka masih berhadapan dengan polisi. Mereka berusaha membuka barikade dengan melempari polisi dengan batu. Korban gugur pertama Hendriawan Sie, 20 tahun, kemudian dilarikan Arri secepatnya ke RS Sumber Waras yang terdekat. Sayang, nyawa Hendriawan yang lehernya tertembus peluru saat berada di balik pintu gerbang kampus itu tidak tertolong. Darah terus mengucur dari lehernya. Dalam perjalanan menuju kampus itulah, dia gugur.
Elang Mulya Lesmana, 19 tahun, ditembak di dada dan langsung tewas di kampus. Hafidhin Royan, 21 tahun, ditembak di kepala dan meninggal di rumah sakit. Lalu, Hery Hartanto, 21 tahun, ditembak di punggung ketika dia berhenti berlari untuk membersihkan perih di matanya yang terkena gas. Dia meninggal di kampus itu.
Menurut kepolisian dan seorang sumber yang dekat dengan militer, peluru yang dipakai membunuh empat mahasiwa itu jenis 5,56 mm MU5 yang dilesatkan dari senapan laras Steyr AUG. Padahal, aparat polisi yang diterjunkan untuk mengamankan demo Trisakti itu dibekali MU4.
Hasil yang menguatkan polisi tidak terlibat dalam insiden pembunuhan itu tidak lain berupa bukti peluru yang diambil dari jasad Hery pada 7 Juni lalu. Satu-satunya bukti kuat bahwa polisi memang tidak terlibat.
Empat nyawa sudah melayang. Tetapi, mahasiwa masih mendengar tembakan sporadis pada pukul 18.00 hingga pukul 19.00 WIB. Beberapa saat kemudian, korban terakhir bernama Sofyan Rachman ambruk ke tanah. Hingga sekarang, Sofyan masih berada dalam perawatan intensif untuk memulihan luka di dada yang juga menggores ginjalnya.
Pukul 20.00 WIB, Intan, mahasiswi fakultas hukum, keluar dari kampus dengan mengenakan pakaian putih. Dia berteriak kepada polisi bahwa orang-orang di dalam kampus butuh pertolongan medis. Setelah itu, tembakan pun berhenti. Seketika itu pula, 35 orang terluka dilarikan ke rumah sakit, meski sebelumnya polisi menolak memberikan jaminan keamanan ambulans yang membawa para korban itu.
Selain itu, kata Arri, komandan polisi telah memberi tahu dia bahwa luka-luka mahasiswa tersebut tidak mengancam nyawa. Sebab, peluru yang dipakai terbuat dari karet.
Beberapa saat setelah penembakan Trisakti itu, kawasan etnis Cina di Sunter dalam keadaan siaga. Malam itu, Imam Suyitno –warga sipil yang sudah dilatih meminta bala bantuan tentara dalam keadaan darurat– diperintahkan mengorganisasi pemantauan keamanan. Dia berdiri mengawasi keadaan di pintu gerbang pusat perbelanjaan di kawasan itu bersama rekan-rekannya.
Malam itu, mereka melihat sebuah truk AD yang berhenti di belakang supermarket. Sekitar 20 orang lelaki berpenampilan serem (garang) turun dari truk itu. Tetapi, kata Imam, sebelum turun, wajah-wajah sangar itu menerima sesuatu dari seorang lelaki. Lelaki ini kemudian lenyap ditelan kegelapan malam.
13 MEI: Pukul 09.15 WIB, ribuan mahasiswa menghadiri upacara belasungkawa di Trisakti. Sebuah tenda plastik bernoda darah berdiri di atas jalan setapak dekat Gedung M. Bendera berkibar setengah tiang. Di sana hampir semua tokoh pengkritik pemerintah hadir memberikan orasi. Kaum ‘’selebriti’’ politik Indonesia mengatakan, era baru segera datang. Setelah itu, kata saksi mata, keadaan berubah cepat.
Kerumunan massa yang ditolak masuk dan semula di depan pintu gerbang kampus kini mulai meruah dan melakukan keributan di jalanan. Mencium gelagat brutal itu, mahasiswa yang di lingkungan kampus bertekat tidak akan beranjak keluar menuruti seruan bergabung massa di luar. Massa pun mulai kalap. Mereka menghitamarangkan mobil-mobil yang diparkir dekat Mal Citraland. Dua boks gerbang pembayaran tol disulut api. Kerusuhan meluas di wilayah Jakarta Barat, lalu terus meluas.
Ketika asap membumbung dari bangunan-bangunan Jakarta, pengacara kesohor Adnan Buyung Nasution dan Ketua YLBHI Bambang Widjoyanto menemui Prabowo di markas Kostrad. Mereka bicara selama 30 menit. Di hadapan Prabowo, Buyung dan Bambang menanyakan keterlibatan menantu Soeharto itu dalam insiden penculikan beberapa aktivis politik.
Buyung dan Bambang merasa perlu menanyakan hal itu didasari pikiran bahwa adanya konflik antara Prabowo dan Wiranto. Di hadapan dua praktisi hukum senior itu, Prabowo bersumpah tidak tahu-menahu soal penculikan para aktivis tersebut. Prabowo juga menolak dugaan bahwa dia berseteru dengan Wiranto.
Kerusuhan terus meluas di luaran. Pada pukul 16.00 hingga pukul 17.00 WIB, kata seorang perwira tinggi, Wiranto memerintahkan (kala itu) Pangdam Jaya Mayjen Syafrie Syamsuddin agar mengirim pasukan untuk mengontrol aksi kerusuhan yang kian luas itu. Syafrie benar-benar menurunkan pasukannya di jalan-jalan. Namun, ternyata dia tidak memberangkatkan atau menempatkan pasukannya di beberapa wilayah yang sebenarnya sangat membutuhkan. Bahkan, dia tidak memberikan perintah yang jelas kepada pasukannya itu.
Menurut sumber perwira tinggi itu, Syafrie malah membuat pasukannya bingung. Mereka yang bermarkas di wilayah barat di Jakarta diperintahkan pergi mengamankan di wilayah timur, dan sebaliknya. Saat itulah Prabowo mendesak Wiranto agar memberinya izin menurunkan unit pasukan elite cadangan di ibu kota. Tetapi, Wiranto menolak.
Sekitar pukul 19.00 WIB, Wiranto melakukan inspeksi dengan Syafrie. Saat itulah, Wiranto merasa tidak cocok terhadap tindakan yang dilakukan Syafrie. Karena itu, Wiranto kemudian meminta Pangdam Diponegoro mengirim pasukan ke Jakarta.
Padahal, perjalanan menuju Jakarta butuh waktu sehari penuh. Prabowo dan perwira-perwira yang loyal kepadanya, seperti Syafrie, masih bisa mengontrol sebagian besar wilayah Jakarta sebelum kehadiran pasukan dari Jawa Tengah. Sumber-sumber intern mengatakan, Wiranto memang sengaja tidak menurunkan sejumlah pasukan yang loyal kepadanya karena cemas akan terjadi bentrokan bersenjata dengan pasukan Prabowo.
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
JAKARTA (voa-islam.com) – Jelang Pemilu 2014, penulis buku “Politik Huru-Hara Mei 1998” Fadli Zon sepertinya semakin giat membersihkan nama baik Letjen TNI Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad ketika itu. Pembelaan Fadli terhadap Prabowo, terkait tuduhan pihak tertentu perihal pertemuan makar di Makostrad 14 Mei 1998.
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf
Laporan akhir TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kala itu menyimpulkan untuk menyelidiki dan mengungkap peran Prabowo dalam pertemuan di Makostrad 14 Mei 1998. TGPF melihat pertemuan itu berkaitan dengan terjadinya kerusuhan di Jakarta (Mei 1998). Satu hari setelah TGPF menyampaikan laporan informasinya yang berkembang, seolah-olah pertemuan Makostrad adalah rahasia merancang kerusuhan dan disebut dalangnya Letjen TNI Prabowo.
Fadli Zon mengaku hadir dalam pertemuan tersebut. Dikatakan Fadli, tuduhan merancang kerusuhan jelas fitnah besar. Pertemua itu hanya silaturahim dan diskusi tanpa rencana dilakukan malam hari, 14 Mei setelah Maghrib, digagas oleh Adnan Buyung Nasution, Setiawan Djodi, Rendra, Bambang Widjojanto dan lain-lain. Prabowo menyampaikan informasi mutakhir situasi saat itu.
“Para tokoh yang hadir pun membantah hasil laporan TGPF. Bagaimana mungkin pertemuan itu merancang kerusuhan padahal huru hara sudah terjadi,” jelas Fadli.
Menurut Fadli, laporan TGPF terkesan dipesan dan diarahkan menyudutkan Prabowo. Hingga kini laporan TGPF soal pertemuan Makostrad tak pernah diluruskan. “Ini membuktikan TGPF menjadi alat politik ketika itu. Pertemuan Makostrad justru bicara mengenai upaya-upaya untuk mengatasi situasi saat itu. Inilah distorsi sejarah yang dibangun dalam upaya mencari kambing hitam dan menutupi dalang sesungguhnya. Yang terjadi pada Pangkostrad Letjen TNI Prabowo adalah black propaganda.“
Para Jenderal Dibawa Ke Malang
Yang menjadi pertanyaan Fadli Zon adalah kenapa Panglima ABRI (Pangab) Jenderal Wiranto saat itu, membawa para jenderal ke Malang. Padahal Jakarta sedang dilanda kerusuhan.
“Salah satu keganjilan dalam episode kerusuhan Mei 1998 adalah ketika sejumlah pimpinan ABRI (sekarang TNI) malah tak berada di Jakarta. Mereka berbondong-bondong ke Malang untuk menghadiri upacara pemindahan PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Dibisi II Kostrad,” ungkap Fadli.
Lebih lanjut dikatakan, upacara serimonial ini sama sekali tidak penting jika dibandingkan keadaan Jakarta di tengah rusuh. Upacara di Malang dihadiri Pangab Jenderal TNI Wiranto, KSAD Jenderal TNI Subagyo HS, Pangkostrad Letjen TNI Prabowo Subianto, Danjen Kopassus MUchdi PR dan beberapa petinggi militer lainnya.
“Mereka berangkat pagi ke Malang dan pulang siang hari. Prabowo berkali-kali menyarankan agar acara tersebut ditunda, namun Wiranto tetap mengharuskan. Ketika para Jenderal kembali ke Jakarta, kerusuhan tak dapat dikendalikan. Kita semua tentu heran, mengapa Pangab bersikukuh pergi ke Malang,padahal Jakarta dilanda huru hara? Ini masih misteri, mudah-mudahan bukan upaya pembiaran,” tulis Fadli yang mengaku belum utuh mengungkap peristiwa Mei 1998 tersebut.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2013/05/22/24731/dibalik-peristiwa-kerusuhan-mei-1998-para-jenderal-dibawa-ke-malang/#sthash.V1SnKxju.dpuf